Dewan Adat Nabire Menolak Keras Berita Miring Jhon Gobai Atas Persoalan Tambang

Jayapura Papua, KD. Carut-marut persoalan Pertambangan di kabupaten Nabire terkait dugaan ilegal mining yang sudah beberapa kali mendapat sorotan salah seorang tokoh adat bernama Jhon Gobai di sejumlah pemberitaan media masa, yaitu dalam membela hak masyarakat adat Mepago ; secara khusus pemilik lahan tambang di Nabire, akhirnya ditantang keras Dewan Adat Nabire sendiri.

Herman Sayori selaku ketua dewan adat, Yohan Wanaha sebagai sekretarisnya, kepala kampung Nifasi bernama Matias Gobai dan sekretarisnya sendiri Andreas Inggeruhi, bersama beberapa lagi tokoh masyarakat adat yang sudah datang di Jayapura, dengan sangat tegas menyatakan sikap bahwa dewan adat akan melakukan terobosan untuk meminta pemerintah Provinsi Papua dan juga Polda Papua agar segera menghentikan aktifitas penambangan yang masih dilakukan sejumlah perusahaan yang terkesan ilegal.

Bukan hanya soal ilegal mining itu saja, berbagai komentar Jhon Gobai yang juga merupakan anggota DPR Papua yang kerap berkoar atas nama masyarakat adat pemilik hak ulayat, juga turut ditentang keras dewan adat kabupaten Nabire. Yaitu jika melihat pada status asal muasal ( suku ) dan status jabatan adat yang melekat pada Jhon Gobai.

” Berbicara mengenai Pertambangan, bukan soal hari ini saja yang kita bicara. Kita harus melihat ke masa lalu dengan latar belakangnya dan melihat pula ke depan. Begitupun soal Perijinan Tambang itu sendiri. Ada 2 hal sebagai ketua dewan adat Nabire saya mau sampaikan di sini ; 1. Mengenai garis Cultur dan Adat Istiadat serta Kepemilikan Hak Ulayat, dan 2. Mengenai hirarki perijinan yang memiliki dasar kekuatan hukum itu sendiri. Jadi kita tidak bisa hanya sekedar bicara besar dan bikin diri benar, seakan-akan kita ini putera asli anak adat Nabire yang punya wilayah itu. Ini saya bicara dalam kapasitas sebagai ketua dewan adat Nabire yang punya masyarakat adat dan juga punya wilayah adat.

Selain ijin dari Negara atau Pemerintah, ada juga ijin dari pemilik hak ulayat yang adalah masyarakat adat itu sendiri. Ini yang paling hakiki. Setiap kali kita bicara Pertambangannya di Papua, pasti tidak akan terlepas dari hak ulayat masyarakat adat. Kenapa?. Karena tentu ada peta wilayah adat yang jelas di sana yang sudah secara turun temurun terpelihara sampai sekarang di kehidupan masyarakat adat. Saya lihat sebenarnya masalah tambang ini hal yang sepele saja. Ini urusannya pertama, yaitu soal kesediaan masyarakat adat sendiri dengan pihak investor atau pemilik modal. Kemudian, masuk kepada wilayah pemerintah terkait ijin-ijin itu. Dua hal inilah yang jadi indikator utama timbulnya persoalan sebenarnya.

Apabila sebuah perjanjian itu sudah dibuat dengan masyarakat adat secara terbuka, jujur dan adil, tahapan kedua ialah masuk lagi ke ranah pemerintah. Mengapa saya katakan demikian?, karena ada MoU dan Perjanjian serta konsekwensi di sana. Termasuk yang paling penting, adalah menyangkut “BAGI HASIL.” Muaranya kan itu. Ini juga menyangkut Kesejahteraan Pemilik Hak Ulayat itu sendiri. Bukan oknum-oknum tertentu yang selalu punya ambisi yang serakah untuk memperkaya diri saja, tanpa memandang rasa kemanusiaan dari masyarakat adat pemilik lahan leluhur tersebut.

Jadi saya minta dengan tegas selaku ketua dewan adat di kabupaten Nabire, Jhon Gobai yang adalah putera suku Mee itu jangan lagi berkoar soal lahan tambang milik masyarakat adat Nabire. Yang perlu saya tegaskan lagi di sini, Jhon ini bukan Ketua Dewan Adat MEPAGO. Tidak ada itu yang namanya Dewan Adat Mepago.

Kalau wilayah adat Mepago boleh ada. Tapi yang dibilang Dewan Adat Mepago itu diambil dari mana?. Dan jika benar, mana SK-nya. Kapan juga ada pertemuannya dilakukan?, dan di mana. Kalau sebut dia Sekretaris Tiga ( 3 ) Dewan Adat Papua, boleh. Itu benar. Tapi ketuanya juga bukan dia. Ketuanya itu bapak Piter Yarangga. Dan yang kita tahu, dia itu jabatan di adat adalah sebagai Ketua Dewan Adat di kabupaten Paniai. Bukan ketua dewan adat di kabupaten Nabire. Jadi Jhon Gobai jangan terlalu banyak mengatur soal hak ulayat masyarakat adat saya di Nabire. “ Ungkap Herman geram.

Masih menurut Herman, dia juga mengatakan bahwa ada oknum-oknum tertentu dari luar, termasuk PT. TAP dan PT. KRISTALIN yang ikut mempengaruhi suku Wate yang memiliki lahan tambang itu sehingga suku ini pun saling memiliki kepentingan. Ketua dewan adat yang sangat vokal serta memiliki segudang pengalaman ini ikut mengkritisi pemerintah daerahnya sendiri ( Nabire ), yang dibilang hingga saat ini masih belum pernah ada tindakan untuk menyelesaikan persoalan TAPAL BATAS kewilayahan adat.

” Kalau tapal batas secara pemerintahan itu memang ada. Tapi tapal batas wilayah adat, mana?. Pemerintah harus bijak dan jeli dalam hal ini bila betul dia peduli sama rakyatnya. Masyarakat adat kita ini juga kan rakyatnya pemerintah. Betul kan?. Sampai detik ini inisiatif PEMDA NABIRE untuk mengurus hal ini belum pernah ada.

Kenapa saya bilang tapal batas wilayah adat itu harus jelas, ya jawabannya yaitu untuk bisa menjadi informasi berharga pula bagi setiap investor yang mau masuk ke daerah adat itu untuk beroperasi. Jika ada tapal batasnya, investor akan langsung tahu suku-suku mana saja yang sebenarnya punya hak ulayat di situ. Ini penting. Jadi Pemda dan Dewan Adat itu harus bersinergi untuk sepakat menyelesaikan masalah tapal batas kewilayahan adat ini.

Berikutnya, kami juga melihat ada oknum-oknum pemerintah daerah yang terlalu action berlebihan masuk ke dalam urusan tambang di Nabire. Itu ada apa?. Yang lucu dan heran bagi saya, ada perusahaan waktu itu yang mengantre di belakang, tetapi ada perusahaan lain yang secara tiba-tiba langsung diberi ijin serta lakukan operasi produksi. Lalu perusahaan yang sudah mengantongi ijin resmi IUP serta sudah ber-C&C dan masih hanya melakukan ekplorasi, justeru jadi penonton setia saja. Kami duga perusahaan-perusahaan kaya begitu ada memakai cara-cara KKN untuk meloloskan perusahaannya guna melancarkan niat serakahnya untuk berproduksi.

POLDA PAPUA harus segera bertindak tegas atas para mavia ilegal mining di Nabire dan jangan terlena ataupun lemah terhadap PENEGAKAN HUKUM di sana. Bagaimana ada DANA BAGI HASIL juga untuk negara dan daerah kalau ilegal mining terus berlanjut?. Yang ada kan hanya masuk ke kantong-kantong oknum-oknum tertentu kan?. Intinya, jangan dengar apa yang Jhon Gobai itu bicara.

Kami sangat mencurigai ada skenario yang diatur soal urusan tambang di daerah kami. Kami juga sangat menolak tegas pernyataan-pernyataan miringnya pak Jhon yang seakan memihak masyarakat adat saya di Nabire. Kami menduga jangan dia ada kepentingan dengan perusahaan tertentu, atau memboncengi pihak perusahaan ilegal yang sudah dan masih terus melakukan operasi produksi serta mencuri emas kami di Nabire. Wilayahnya bukan Nabire tapi Paniai. Kalau dia berkoar untuk Paniai, itu pantas. Dia tidak boleh berkoar lagi untuk wilayah adat kami di Nabire.

Kami bicara di sini panjang lebar menyoroti Jhon Gobai, di Nabire sedang terjadi praktek ilegal mining. Jadi kalau Jhon dia mau benar-benar bicara demi kepentingan masyarakat adat, harus niatnya itu tulus dan murni dari hati nuraninya yang bersih tanpa terboncengi kepentingan. Kalau dia vokal karena ada memihak perusahaan tertentu, katakanlah PT. TAP misalnya, ini yang kami tantang keras.

Yang terakhir dari saya selaku ketua, ingin saya tegaskan agar investor siapa pun yang mau masuk di wilayah adat Nabire supaya harus tahu diri!!!, dan harus masuk melewati pintu dahulu. Pintunya yang mana?, ya DEWAN ADAT. Kami ini yang punya masyarakat adat dan wilayah adat. ” Ungkap Herman sembari menyebutkan di kabupatennya itu ( Nabire ) ada 3 persoalan pokok yang terdiri dari ; persoalan Kayu, persoalan Kelapa Sawit, dan Tambang yang masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai sekarang.

Senada dengan keterangan panjang yang ditegaskan ketua dewan adat, pernyataan sangat tegas juga disampaikan sekretaris Herman Sayori sendiri, Yohan Wanaha. Menurut Yohan, pihaknya bersama seluruh masyarakat adat dan tokoh-tokoh adat yang ada di kabupaten Nabire dengan tegas menolak semua pernyataan Jhon Gobai yang sudah digaungkan di media.

” Hari ini kami kami dari dewan adat bersama perwakilan para tokoh adat dan masyarakat 6 suku, masing-masing ; Suku Yerisiam, suku Umari, suku Yaur atau Egure, suku Wate, suku Nora, dan suku Goa, dengan tegas kami sangat menolak berbagai komentar yang disampaikan Jhon Gobai yang mengatas-namakan masyarakat adat kami. Terlebih khusus untuk suku Wate dan suku Goa yang punya area tambang emas.

Masyarakat kampung Makimi dan Nifasi menyatakan mengklarifikasi kembali bahwa PT. PASIFIK MINING JAYA atau PMJ tidak pernah melakukan PRODUKSI, karena sementara yang ada hanya IJIN EKSPLORASI saja. Apa yang selama ini digosipkan saudara JHON GOBAI itu kami mau kasih tahu bahwa itu sama sekali TIDAK BENAR. Sekali lagi itu TIDAK BENAR.

Lalu saya mau kasih tahu lagi, dari hasil pertemuan masyarakat adat kampung Makimi dan Nifasi beberapa hari lalu, kami sudah sepakat untuk MEMBERHENTIKAN AKTIFITAS ILEGAL MINING. Tapi karena sudah ditangani POLDA, sehingga kami menghargai itu dan menahan diri dulu sementara. Tujuan kami datang injakan kaki di ibu kota Provinsi Papua ini, yaitu dalam rangka meminta POLDA Papua untuk segera tunjukkan sikap tegasnya atas kesewenang-wenangan yang dilakukan oknum-oknum pemilik PERUSAHAAN PERUSAHAAN ILEGAL yang masih terus mencuri emas kami.

Coba anda datang dan lihat sendiri lokasi penambangan yang dilakukan pihak perusahaan ilegal mining itu, rusak dan sangat mengkhawatirkan masyarakat kami. Bagaimana Limbah Mercurinya, bagaimana Ekosistem di Kali dan Hutan kami, bagaimana dampak Amdalnya, bagaimana bahaya Banjir dan Erosi nanti, bagaimana soal Kesejahteraan Pemilik Hak Ulayat itu sendiri?, lalu juga bagaimana dengan kontribusi positif bagi Negara???. Kasihan kan? perusahaan yang aktif setor pajak ke negara setiap tahun, lahan eksplorasinya tinggal dikeruk dan dicuri perusahaan ilegal lainnya yang tak mengantongi izin IUP dan C&C.

Kalau perusahaan yang ijinnya jelas, pasti ada kontribusi yang jelas, adil dan merata pula bagi masyarakat ulayat itu juga. Termasuk mematuhi tuntutan AMDAL yang ada. Tapi karena aktifitas tambang itu dilakukan pihak perusahaan ilegal, ya akibatnya seperti yang saya sebutkan di atas tadi. Untuk itu sekali lagi kami minta bapak Gubernur Papua, Kapolda Papua, Pimpinan DPRP dan MRP serta Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Papua untuk harus segera bertindak serius dalam menyelesaikan persoalan penambangan ilegal di daerah kami di kabupaten Nabire. Jangan mereka hanya berdiam diri saja. ” Ujar Yohan dengan lantang.

Selain sorotan tajam yang ditujukan kepada Jhon Gobai, sekretaris dewan adat Nabire bersama sejumlah rombongan yang ditemui media ini di hotel Matos Abepura ( 27/01/2017 ), turut menyampaikan kekecewaan yang teramat dalam atas tindakan dan janji-janji yang dibuat PT. Karya Persada Sentosa sendiri terhadap masyarakat Nifasi di KM. 40. Padahal, menurut Yohan, banyak sekali tanaman Pohon Kelapa milik masyarakat yang sudah digusur dan dihilangkan PT. Karya Persada Sentosa namun tidak pernah ada ganti rugi yang diberikan. Begitupun hal lainnya yang masih terus dipertanyakan hingga saat ini.

” Pohon Kelapa masyarakat kami banyak yang digusur, tapi sampai detik ini PT. Karya Persada Sentosa tidak pernah ada inisiatif yang baik untuk mau membayar. Pernah juga ada MOBIL Kesehatan yang dikasih PT Karya Persada ini ke masyarakat secara simbolis, tapi sampai sekarang mobil itu hanya dikasih tinggal saja di Perusahaan. Mobil itu tidak tinggal di masyarakat. Satu lagi, KARTU JAMKESMAS yang sudah pernah dilaunching oleh perusahaan ini sendiri, sampai detik ini tidak pernah dikasih ke masyarakat. Waktu masyarakat mempertanyakan itu, pihak perusahaan bilang mereka selama ini bekerja atau beroperasi tapi masih juga belum mendapatkan hasil katanya. Jadi belum bisa diberikan kartu itu ke masyarakat.

Jadi yang punya ijin dari Bupati Nabire, yaitu PT. Karya Persada Sentosa. PT. Karya Persada inilah yang kemudian menggandeng PT. TAP atau Tunas Anugerah Papua untuk mengeruk emas kami di wilayah adat kami. Mengenai MoU yang katanya sudah dibuat antara Bupati Nabire dan PT. Karya Persada ini sewaktu masyarakat datang meminta bukti, sampai detik ini pun bukti tersebut tidak pernah ditunjukkan pihak perusahaan itu. Ini ada apa sebenarnya?.

Kami jelas-jelas sangat mencurigai ada Mavia-mavia kelas kakap yang ikut bermain dengan perusahaan-perusahaan ilegal mining ini. Begitupun terkait fakta presentase program yang pernah dibeberkan ibu Jacklin sebagai pimpinan perusahaan, masih sama sekali tidak bisa dibuktikan. Kami harapkan justru ibu Jacklin sebagai bahagian dari glen atau yang punya hubungan kekeluargaan dengan masyarakat kampung Nifasi, kami harapkan supaya dia bekerja dengan jujur dan adil tanpa mengorbankan masyarakatnya sendiri. Ini kita bicara jangka panjang juga ke depan. ” Seru Yohan lagi.

Sementara itu, pernyataan lainnya turut ditambahkan kepala kampung Nifasi bernama Matias Gobai bersama Andreas Inggeruhi yang menjadi sekretarisnya. Menurut Andreas yang bersuara lantang pula ini, pihak perusahaan tambang dalam berproduksi sama sekali tidak pernah melibatkan masyarakat adat di wilayah mereka sendiri dalam hal pengawasan.

” Fakta lain yang ingin kami beberkan di sini, yaitu soal PENGAWASAN yang sama sekali tidak ada menurut pengamatan kami selama ini. Perusahaan tambang itu sama sekali tidak pernah melibatkan masyarakat adat untuk ikut mengawal dan mengawasi sepak terjangnya beroperasi mengeruk emas kami di sana. Sistem pengawasannya memang terlalu lemah kami perhatikan. Ini fakta bukan gosip kami jujur mau katakan. ” Terang Andreas didukung seruan yang sama dari rombongan itu dan bersama ketua dewan adat dan kepala kampung Nifasi sendiri.

Menutup jumpa pers yang dibuat malam itu di Abepura kota Jayapura, Yohan Wanaha dalam harapannya yang diucapkan sangat tertuju kepada Jhon Gobai selaku anggota DPRP. Dia jelas meminta agar Jhon dalam melakukan kunjungan lagi ke Nabire dengan tujuan berbicara tambang, harus mengundang serta menghadirkan semua Stake Holder yang ada di Nabire. Bukan hanya segelintir atau satu dua oknum saya yang ditemui, lalu kemudian berkoar-koar di media pemberitaan mengatas-namakan seluruh masyarakat adat Nabire.

” Harapan saya dan harapan kami semua masyarakat adat Nabire, kami minta POLDA Papua segera turun dan berantas praktek-praktek mavia ilegal mining yang masih seakan terus dipelihara dan sudah sangat parah ini. Kami minta Dinas Pertambangan Provinsi Papua juga harus serius urus persoalan ini. Begitu pun DPRP dan MRP supaya tidak tinggal diam melihat fenomena penambangan ilegal yang sedang dilakukan di kabupaten Nabire.

Saudara Jhon Gobai juga kami minta kalau mau berkunjung ke Nabire, harus turun dengan menggunakan biaya sendiri, atau biaya dari dewan. Apa yang kami curigai dia dibiayai perusahaan, jangan hal itu terjadi. Kemudian kalau dia turun ke Nabire dalam rangka mengurus persoalan tambang dengan kapasitasnya selaku anggota DPRP, tolong jangan lagi ketemu dengan satu dua orang lalu mengatas-namakan seluruh masyarakat adat. Kami mau kasih tahu lagi bahwa hampir semua masyarakat adat Nifasi itu tidak mengenal yang namanya Jhon Gobai.

Dan sebagai penutup, kami sekali lagi MENOLAK DENGAN TEGAS BERITA YANG DISERUKAN JHON GOBAI!!!. Beritanya di beberapa Media kami nyatakan menolak karena TIDAK BENAR SAMA SEKALI. ” Tutup Yohan disungguhkan Herman Sayori atas nama ketua dewan adat Nabire beserta seluruh rombongan yang hadir dalam jumpa pers. ( *JW/HY/FW/WF* ).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *