LBH Papua; “Segera Ada Perda Untuk Memenuhi Hak Warga Negara Di Papua!”

Gubernur, Bupati dan Walikota se-propinsi Papua dan Papua Barat segera membentuk PERDA tentang “Bantuan Hukum, Demi Memenuhi Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Warga Negara di Papua.

Berdasarkan penanganan perkara yang diadukan baik untuk didampingi secara langsung, maupun hanya konsultasi atau bahkan melalui penunjukan oleh Penyidik yang ditangani LBH Papua, tercatat beranekaragam kasus.

Baik kasus Penganiayaan, Pembunuhan, Narkoba, Penyalahgunaan Alat Tajam/Senjata Api, Penyerobotan Tanah, KDRT, Pencemaran Nama Baik melalui Internet, Perbuatan Tidak Menyenangkan, Kredit Macet, Pencabulan, Pemerkosaan, Perceraian, Adopsi Anak, Ketenagakerjaan dan Pelanggaran HAM.

Dari semua bentuk kasus masuk di LBH Papua yang disebutkan secara langsung mencerminkan semakin pesat, masif dan merata persoalan hukum dan HAM, yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di propinsi Papua dan Papua Barat.

Di atas kenyataan itu, yang menjadi keprihatinan tersendiri adalah nasib korban dan tersangka, yang tidak mendapatkan bantuan hukum.

Padahal, bantuan hukum merupakan sebuah hak konstitusional warga Negara sebagaimana dijamin dalam prinsip; “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

(Pasal 28d ayat (1), UUD 1945) dimana perwujudannya menjadi tanggungjawab negara melalui pemerintah sesuai arahan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” (pasal 28I ayat (4), UUD 1945).

Fakta itu membuktikan bahwa pada prakteknya hak atas bantuan hukum diabaikan oleh pemerintah daerah, propinsi Papua dan Papua Barat serta kabupaten dan kota di dalamnya.

Di tengah situasi itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta Lembaga Advokasi lainnya yang dibentuk dengan berlandaskan pada prinsip “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”

Pasal 22 ayat (1), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, tanpa hentinya terus memenuhi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” sebagaimana diatur pada pasal 28d ayat (1) UUD 1945.

Yaitu dengan cara memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Sebagai respon atas kerja mulia itu, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008, tentang “Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.”

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 di atas yang pasti belum menunjukan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Hal itu sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (4), UUD 1945 untuk memenuhi ketentuan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” sebagaimana diatur pada pasal 28d ayat (1), UUD 1945 dalam bentuk pemberian bantuan hukum.

Keterlibatan pemerintah dalam pemenuhan bantuan hukum mulai jelas terlihat melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, Tentang Bantuan Hukum dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

Sekalipun demikian, sampai saat ini hanya pemerintah pusat yang terus mengalokasikan dana melalui Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Negara (APBN), untuk memenuhi hak atas bantuan hukum yang dikelola oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH), yang telah terverifikasi pada BPHN Pusat.

Sementara itu, belum terlalu banyak pemerintah daerah mengalokasikan dana melalui Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Daerah (APBD), untuk memenuhi hak atas bantuan hukum, padahal “Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,” sebagaimana diatur pada pasal 19 ayat (1), Undang Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Sekalipun pemerintah pusat telah mengalokasikan APBN untuk bantuan hukum yang dijalankan oleh OBH, namun untuk propinsi Papua dan Papua Barat yang wilayahnya sangat luas akan sangat tidak maksimal, jika OBH yang menjalankan program bantuan hukum dari pemerintah pusat mayoritas berkantor di ibu kota propinsi, sementara di kabupaten/kota di dalamnya tidak ada.

Tentunya akan sangat tidak maksimal pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi warga Negara yang membutuhkan bantuan hukum. Fakta itulah yang dialami oleh propinsi Papua yang hanya memiliki 2 (dua) Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terverifikasi, sementara Organisasi Bantuan Hukumnya berdomisili di ibu kota propinsi Papua, sementara pemenuhan bantuan hukum bagi warga Negara di kabupaten/kota dalam propinsi Papua tidak terjangkau.

Berdasarkan fakta, pemerintah propinsi Papua dan Papua Barat serta pemerintah kabupaten dan kota di dalamnya, merupakan salah satu pemerintah daerah yang sampai saat ini belum memiliki Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum, serta belum pernah mengimplementasikan Pasal 19 ayat (1), Undang Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Karena fakta itulah, sehingga terus mengabaikan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” sebagaimana diatur pada Pasal 28d ayat (1), UUD 1945.

dimana perwujudannya menjadi tanggungjawab negara melalui pemerintah sesuai arahan “perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” sebagaimana diatur pada Pasal 28I ayat (4), UUD 1945 yang implementasinya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Padahal jika dilihat pada realitas persoalan pelanggaran hukum dan HAM, setiap tahunnya terus meningkat di seluruh wilayah kabupaten, kota dan propinsi se-propinsi Papua dan Papua Barat.

Dalam konteks pemenuhan Hak atas Bantuan Hukum, semestinya pemerintah propinsi Papua dan Papua Barat serta kabupaten/kota di dalamnya perlu belajar dari Pemerintah DKI Jakarta, yang melihat tingginya persoalan hukum dan HAM di wilayah DKI.

Karena itu sehingga sejak masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, telah memberikan bantuan bangunan aset Negara untuk dijadikan kantor bagi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan setiap tahunnya mengalokasikan dana operasional bantuan hukum yang bersumber dari APBD sampai saat ini.

Berdasarkan uraian di atas sudah dapat menunjukan realitas ketidakseriusan pemerintah propinsi Papua dan Papua Barat, serta kabupaten/kota di dalamnya dalam memenuhi hak atas bantuan hukum bagi warga Negara di papua.

Fakta ini tentunya akan berdampak buruk bagi pemenuhan hak atas keadilan bagi korban dan pelaku, sehingga untuk memenuhi hak atas bantuan hukum bagi warga Negara di Papua, maka Lembaga Bantuan Hukum Papua menegaskan kepada:

1. Gubernur propinsi Papua dan Papua Barat serta ketua DPRP dan ketua DPRPB, untuk segera membentuk Peraturan Daerah Tentang Bantuan Hukum demi memenuhi hak atas bantuan hukum bagi warga Negara di Papua;

2. Bupati dan Walikota dan ketua DPRD kabupaten dan kota se-provinsi Papua dan Papua Barat, segera membentuk Peraturan Daerah Tentang Bantuan Hukum demi memenuhi hak atas bantuan hukum bagi warga Negara di Papua.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 23 September 2020
Siaran Pers Nomor : 014/SP-LBH-Papua/2020.

Posted by: JRW~Admin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *