PTUN Jakarta Tolak Gugatan PT. KCP dan PT. MJR, Suku Awyu Menang!

Foto insert: Perwakilan masyarakat adat suku Awyu saat menggelar demo, menuntut negara mengakui dan mengembalikan hak atas hutan dan tanah adat mereka.

 

Jayapura Papua, KD. Tekad dan semangat masyarakat adat suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel provinsi Papua Selatan, yaitu dalam memperjuangkan nasib mereka merebut kembali hutan adat mereka, ternyata tidak mengecewakan.

Dengan perjuangan yang gigih dan usaha yang keras, akhirnya derita dan air mata masyarakat suku Awyu yang selama ini berderai, dijawab oleh Tuhan pencipta alam semesta.

Bagaimana tidak, Kawasan hutan dan juga tanah adat milik suku Awyu yang dicaplok PT. Kartika Cipta Pratama {KCP} dan PT. Megakarya Jaya Raya (MJR) yang dijadikan perkebunan kelapa sawit selama beberapa tahun berjalan, akhirnya dicabut izin mengenai pengelolaan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan {KLHK}.

Pasca pencabutan izin kawasan hutan yang terjadi, PT. KCP dan PT. MJR pun melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara {PTUN} Jakarta. Kedua perusahaan penggugat itu meregistrasi perkara gugatan mereka di kantor PTUN Jakarta dengan nomor masing-masing: 82/G/2023/PTUN.JKT dan 87/G/2023/PTUN.JKT.

Alih-alih mengharapkan jawaban putusan yang berpihak kepada gugatan kedua perusahaan kelapa sawit itu, yang mana telah beria-ria selama berapa tahun perusahaan tersebut di lahan masyarakat adat suku Awyu, PTUN Jakarta menolak gugatan kedua perusahaan penggugat itu.

Putusan yang memenangkan Menteri LHK (tergugat) dan masyarakat adat suku Awyu (tergugat intervensi) ini, diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung pada Selasa, 5 September 2023.

Sebagaimana diketahui, PTUN Jakarta disebutkan dengan memutuskan menolak gugatan 2 perusahaan kelapa sawit itu, ia telah menyelamatkan 65.415 hektar hutan asli dari konsesi PT. MJR dan PT. KCP Perusahaan.

Kedua perusahaan ini bahkan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut, dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektar lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka, oleh pemegang ke-2 konsesi.

Demikian pernyataan Gergorius Yame, salah satu tergugat dari 6 tergugat intervensi dalam perkara gugatan 2 perusahaan besar itu.

“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko (perusahaan,red) mau bikin apa lagi di tanah adat kami?. Patuhi sudah putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami.

Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT. MJR dan PT. KCP.

Kami berharap bisa mendapatkan hutan adat lagi, dan biar kami sendiri yang kelola untuk anak cucu kami .suku Awyu,” cetus Gergorius Yame berdialek Papua penuh harapan.

Adapun untuk diketahui, PT. MJR dan PT. KCP mendaftarkan gugatan mereka ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret 2023 lalu.

Lewat gugatan itu, ke-2 perusahaan mempersoalkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan, yang isinya antara lain mensyaratkan agar tidak melakukan pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit.

Gergorius Yame dan 5 orang masyarakat adat Awyu lainnya mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada 9 Mei 2023. Dalam persidangan yang bergulir, masyarakat Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti-bukti, saksi, hingga ahli, untuk mendukung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadapi gugatan PT. MJR dan PT. KCP.

“Dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, masyarakat adat suku Awyu telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan ini.

Sekarang saatnya bagi Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan kolega-koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu.

Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” ujar Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu.

Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian dari perjuangan masyarakat suku Awyu sendiri, untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit.

Satu pola yang banyak terjadi di Tanah Papua, merujuk laporan Greenpeace Internasional ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua’. Selain di PTUN Jakarta, upaya litigasi untuk mempertahankan hutan adat juga ditempuh masyarakat Awyu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura.

Pada 13 Maret lalu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro–bagian dari suku Awyu, menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit lainnya, PT Indo Asiana Lestari.

Persidangan gugatan tersebut masih berjalan hingga kini. “Jarang sekali kami dapat berita baik, jadi kami berharap masih bisa dapat kabar baik dari gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Jayapura. Semoga di PTUN Jayapura menang lagi,” kata Hendrikus Woro.

Anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, Tigor Gemdita Hutapea mengimbuhkan, perkara-perkara gugatan dan serangkaian persidangan ini makin membuktikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera mengakui hutan adat.

Pengakuan hutan adat sangat penting untuk menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan yang merampas ruang hidup mereka. “Dari persidangan ini, KLHK mestinya belajar bahwa Papua bukan tanah kosong. Tidak ada alasan menunda lagi, segera akui hutan adat!” (Nesma/KA/NGK).

Dilansir dari newguineakurir.com. 📢Editor: Jeffry/Jack.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *