Peringatan 10 Desember 2023 Hari HAM Sedunia, Christian Warinussy Beri 5 Pesan Penting Bagi Presiden Jokowi

Foto: Yan Christian Warinussy.

Manokwari Papua Barat, Kabar Daerah. Peringatan Hari Hak  Asasi Manusia Internasional atau Human Right Day tanggal 10 Desember 2023 menunjuk pada usia peringatan ke-75 tahun.

Peringatan tersebut didasari pada dicetuskannya Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM), atau the “Universal Declaration of Human Right (UDHR)”.

Deklarasi tersebut memiliki esensi untuk meneguhkan kesetaraan, kebebasan mendasar, dan keadilan dalam masyarakat. Deklarasi ini juga menegaskan hak-hak bagi seluruh umat manusia.

Dalam peringatan hari HAM sedunia tanggal 10 tahun 2023, juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang HAM, khususnya di kalangan generasi muda, serta menginspirasi masyarakat untuk terlibat dalam gerakan kemanusiaan serta memberdayakan mereka, untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak mereka.

Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, dan selaku salah satu Advokat dan Pembela HAM Di Tanah Papua, saya ingin memberi catatan terkait bagaimana implementasi amanat DUHAM (UDHR) yang sudah berusia 75 Tahun (10 Desember 1948-10 Desember 2023) itu, dalam fakta dan penerapan hukum bagi perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua dewasa ini.

Saya ingin menggunakan esensi rumusan pasal 28, pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J mengenai HAM di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dielaborasikan pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, tentang HAM.

Kemudian dirumuskan pula dalam konteks praktek penegakan hukum dalam penyelesaian terhadap dugaan pelanggaran HAM dan HAM Berat, pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan HAM.

Saya ingin mengajak negara ini, khususnya Bapak Presiden Joko Widodo dan jajarannya untuk melihat kembali bagaimana perintah penegakan hukum terhadap langkah perlindungan hak asasi manusia di negara ini bagi rakyat Papua itu, telah ditangkap dan ditulis jelas di dalam konsideran menimbang huruf e dan huruf f dan seterusnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Undang-Undang Otsus Papua tersebut saat ini masih menjadi “perekat” penting bagi integrasi politik Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang telah terjadi dalam fakta dan dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia di antara tahun 1961 hingga tahun 1969.

Inilah hakekat inti soal yang menjadi akar persoalan disharmoni sosial, politik, ekonomi di Tanah Papua hingga hari ini.

Kebijakan nasional negara bagi kepentingan memupuk kembali keindonesiaan yang mampu merawat kepapuaan rakyat asli Papua, di dalam bingkai politik NKRI selama 60 tahun, mesti menjadi salah satu titik penting dalam refleksi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dirasa adil pula oleh rakyat Papua, khususnya Orang Asli Papua (OAP).

Karena Negara nyata di dalam UU Otsus Papua 2001 tersebut, mengakui eksistensi OAP sebagai tujuan dasar diberikannya status sebagai wilayah Otonomi Khusus.

Pengertian hukum saya adalah bahwa kebijakan negara melalui UU No. 21 Tahun 2001 yang memberi tempat bagi perbaikan pembangunan di sektor pendidikan dan kesehatan yang memprioritaskan pelayanan kepada OAP, seyogyanya diberikan tanpa pemikiran adanya diskriminasi politik dan tanpa adanya ketakutan menyediakan “Bom Waktu” bagi terporak-porandakannya integrasi politik Papua dalam bingkai NKRI.

Esensi penting adalah bagaimana Negara ini memberi perhatian utama untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) OAP, bagi masa depan Indonesia, sehingga tidak terjadi lagi adanya "Kebijakan Palsu" Afirmasi (keberpihakan) kepada OAP.

Di mana masih ada kata-kata selain anak OAP atau rakyat OAP yang semestinya menjadi sasaran utama pelayanan pendidikan dan kesehatan di Tanah Papua secara luas, tapi  masih ada kata-kata “juga” perlu dilayani anak-anak non Papua yang lahir dan besar di Tanah Papua?.

Atau ruang bagi anak atau rakyat non Papua untuk juga menikmati pelayanan kesehatan dan pendidikan dari dana Otsus Papua tersebut.

Wilayah Papua secara kuasa adalah wilayah otonomi khusus yang bertumpu pada bagaimana melakukan keberpihakan pembangunan dan pemerintahan kepada sasaran utama yang termarginalisasi, yaitu OAP.

Jika hak tersebut terus terjadi, maka fakta yang terjadi adalah terdapat banyak anak-anak OAP yang tidak terlayani dan tidak terserap dalam berbagai ruang pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja di Tanah Papua dalam arti yang seluas-luasnya.

Oleh sebab itu fakta bahwa beberapa kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti kasus Wasior (2001), kasus Wamena (2003), serta kasus Paniai (2014), jangan lagi diharapkan dapat diselesaikan oleh Negara Indonesia dalam kurun waktu yang ada saat ini, maupun di masa mendatang.

Kenapa?, karena senantiasa Negara diliputi rasa takut bahwa menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua akan memperburuk citra negara sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di Dunia Internasional.

Menyelesaikan akar persoalan Papua akan mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa, padahal jaminan hukumnya sudah ada pada pasal 45 dan pasal 46 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tersebut.

Saya sebagai Pemenang Penghargaan Internasional di bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" tahun 2005 di Montreal, Canada, ingin memberikan catatan penting di hari HAM Internasional ke-75 tahun, 10 Desember 2023 ini, yaitu :

Pertama, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang tersisa setahun agar segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Di Tanah Papua, berdasarkan amanat pasal 45 dan 46 UU No. 21 Tahun 2001.

Kedua, Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara segera menyatakan secara terbuka permohonan maaf kepada rakyat asli Papua secara umum dan khususnya kepada para korban dugaan pelanggaran HAM berat Wasior, Wamena dan Paniai, sebelum akhir tahun 2023.

Ketiga, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan pemerintah Indonesia ke depan mampu melakukan review atas status daerah operasi militer (DOM) di seluruh Tanah Papua, dan secara bertahap mengurangi keberadaan personil keamanan dari militer yang terkesan berlebihan.

Termasuk merampingkan struktur organisasi perangkat kerja militer dalam arti yang seluas-luasnya di Seluruh Tanah Papua.

Keempat, Pemerintah-pemerintah lokal di Tanah Papua pada tingkat Provinsi Papua sebagai Provinsi Induk, segera menginisiasi pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc sesuai amanat pasal 32, untuk terlibat aktif dalam merancang kembali segenap kebijakan lokal bagi rakyat OAP sesuai tujuan utama kebijakan nasional negara terkait Otsus di Tanah Papua.

Kelima, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah lokal di Provinsi-provinsi Tanah Papua harus meletakkan sasaran pelayanan kesehatan dan pendidikan serta akses lapangan kerja, utama dan terutama, bagi segenap rakyat OAP tanpa alasan dan ketakutan politik, yang justru senantiasa meminggirkan OAP sebagai tuan di atas negeri sendiri.

✍️Pemikir dan penulis: Yan Christian Warinussy selaku Direktur LP3BH Manokwari, Advokat dan juga Pembela HAM di Tanah Papua.

📢 Edited and Posted by: Jeffry/Jack~Pemred {09 Desember 2023}.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *