Jokowi Akhir Tahun Ke-10 Tak Meninggalkan Legacy Demokrasi Yang Baik Bagi Anak Bangsa RI

🇲🇨MANOKWARI PAPUA BARAT🇲🇨《Artikel》 oleh: YAN Christian Warinussy.


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semenjak Reformasi tahun 1999 lalu, telah berubah dari negara yang tadinya dipandang otoritarian atau anti demokrasi, menjadi negara Demokrasi di Dunia.

Bahkan seringkali Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi keempat {4} terbesar di dunia. Ini sesuatu yang jelas membanggakan kita semua sebagai anak bangsa Negara Kesatuan Repoblik Indonesia {NKRI}.

Sekali lagi hal ini cukup membanggakan. Kenapa?, karena kebebasan pers semakin baik, kebebasan kampus menjadi baik pula, pendirian partai politik menjadi makin baik, pengawasan publik dan tranparansi politik kian maju serta penegakan supremasi hukum menjadi sesuatu yang penting, karena bagaimana pun “Hukum” adalah “Panglima.

Suasana tersebut berlangsung baik sejak awal reformasi 1999, hingga saat terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono {SBY} hingga kepada Presiden saat ini Joko Widodo.

Meskipun akhir-akhir ini pertanyaan terhadap sikap Presiden Joko Widodo yang nyatanya dan berkesan tidak netral sebagai Presiden, yaitu dalam menyikapi proses persiapan dan kampanye hingga jelang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden tanggal 14 Februari 2024 mendatang.

Sebagai  Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Di Tanah Papua, saya turut merasa prihatin sekali akan kondisi demokrasi Indonesia jelang Pemilu Tahun 2024 ini.

Keprihatinan saya dilandasi oleh fakta bahwa Presiden Republik Indonesia kita Joko Widodo telah tidak bersikap netral lagi, sejak awal pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Apalagi dengan majunya salah satu anak kandung Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sendiri, yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Wakil Presiden Prabowo Subianto pada Pemilihan Umum (PEMILU) tanggal 14 Februari 2024 mendatang.

Kisruh penerapan hukum sesungguhnya telah terjadi sejak diduga ada “pemaksaan” syarat usia calon Wapress di Mahkamah Konstitusi maupun “diloloskan”, saat pendaftaran para calon Presiden dan calon Wakil Presiden,  di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Lebih jauh lagi, Sang Presiden kita Joko Widodo, sama sekali tidak mampu menempatkan dirinya sebagai Presiden dan sebagai Kepala Negara, yang seyogyanya berdiri di atas kepentingan semua pihak dan golongan di dalam kancah kompetisi pada Pemilu 2024 ini.

Sikap bangkit dan melakukan demonstrasi di sejumlah kampus perguruan tinggi untuk menentang tirani kekuasaan kepala negara di Indonesia dewasa ini, menunjukan jelas bahwa Reformasi kita yang dipupuk dan dijaga selama ini kian tercoreng oleh sikap Jokowi yang kini masih merupakan Presiden Republik Indonesia.

Sikap Jokowi yang cenderung mendukung salah satu kandidat Presiden, yaitu Prabowo Subianto Menteri Pertahanan dalam Kabinetnya itu, jelas sangat menyakitkan hati rakyat dan utamanya para pejuang reformasi 1999.

Fakta-fakta sudah ada dan menurut saya, sesungguhnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) Republik Indonesia mesti mengambil langkah tegas, dengan mengacu pada situasi dan kondisi faktual serta berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 90/PUU-XXI/2023, tanggal 31 Januari 2024.

Apalagi ada putusan Bawaslu RI yang memberikan sanksi etik kepada Ketua dan anggota  KPU RI belum lama ini, sehingga hal tersebut semuanya sangat bersifat merendahkan martabat perjuangan reformasi negara, serta sangat jelas merupakan pelanggaran hukum yang serius, yaitu dari isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang “PEMILU” serta UUD 1945 yang menjadi landasan “KONSTITUSIONAL” kita.

Apapun alasan Presiden Joko Widodo, rakyat telah merekam dengan sangat baik, sikap dan tindakan yang tidak mencerminkan Joko Widodo sebagai seorang “Presiden”, bagi seluruh rakyat INDONESIA saat ini.

Melainkan sikap seorang Presiden NKRI itu, cenderung ada kesan bahwa Jokowi  tengah berkehendak mengalihkan kekuasaan pemerintah negara yang telah dipegangnya selama jelang 10 tahun, secara damai kepada siapapun calon Presiden yang bakal dihasilkan dalam Pemilu Presiden negara ini.

Padahal, seharusnya Jokowi bisa belajar dari bagaimana proses alih kekuasaan pemerintah negara ini terjadi dalam suasana damai, ketika Jokowi dan Yusuf Kalla pernah menerima alih kekuasaan secara sah dan damai dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dahulu.

Partai Demokrat yang dipimpin oleh Yudhoyono justru mengalami situasi tidak nyaman dari sisi politik hingga saat ini, tapi partai demokrat tetap berjuang dalam damai dan kini bergabung mendukung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Sikap ini berbeda jauh dengan sikap Presiden Joko Widodo yang justru tidak netral, serta mempertontonkan sebuah fakta adanya ketakutan, untuk mengalami situasi kehilangan harapan melindungi hak-hak dan kepentingan ekonomi pribadi dan keluarga pasca berakhirnya kekuasaan sebagai Kepala Negara. Hal yang sudah sangat dipahami oleh rakyat Indonesia dewasa ini bukan?.

Sungguh kiranya bangsa dan rakyat Indonesia mampu membaca dengan baik dan menyimak serta memahami dengan baik, lantunan lagu “manipulasi” demokrasi negara ini dengan baik, agar bangsa Indonesia dalam arti luas sendirilah yang dapat menentukan hak dan pilihan politiknya yang benar dan sadar, pada momentum pemilu legislatif serta Presiden-Wakil Presiden tanggal 14 Februari 2024 mendatang. Posted by📢: Jeffry/Jack.

 

Penulis✍️ adalah Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari provinsi Papua Barat, Sekretaris Jaringan Damai Papua (JDP), Pembela HAM dan Advokat/Pengacara Senior Papua: YAN CHRISTIAN WARINUSSY.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *