Angkat Budaya Biak, Antropolog Hendriko Cs Turun Ke Biak

Foto: HENDRI RIKO KONDOLOGIT dan kegiatan pertemuan yang dilakukan.

Biak, Papua, Kabar Daerah. Dalam mengembangan kembali budaya, bahasa, tari-tarian Adat Wor agar tidak punah dan hilang, maka Hendri Riko Kondologit Antropolog Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura dan beberapa rekan kerjanya, turun melakukan penelitian sekaligus wawancara dengan para pelaku sejarah di kabupaten Biak Numfor.

Wawancara yang dilakukannya, yaitu terkait beberapa bagian budaya suku Biak, salah satunya adalah Tari Wor yang dulu sering dipakai oleh orang-orang Biak, untuk melakukan inisiasi adat dalam beberapa acara ritual khusus.

Hendri Riko Kondologit.

Riko juga mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan di Biak, merupakan presentase atau perkumpulan Mambesakologi, juga perkumpulan dari Joikatra.

“Kedua lembaga tersebut bekerja terkait dengan kebudayaan secara khusus di Tanah Papua.

Kehadiran mereka karena telah bekerja sama dengan Dirjen Kebudayaan di Jakarta, di mana Dirjen Kebudayaan mempunyai salah satu program, yaitu dana Indonesiana.

Perlu juga diketahui bahwa dana ini dikhususkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan”, kata Riko.

Dana ini melalui LPJP dan juga melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Keuangan.

Jumlah total semua Komunitas adalah ratusan dan perorangan yang tersebar di seluruh Indonesia, serta mendapatkan dana Indonesiana di tahun 2024.

Sedangkan untuk wilayah Papua hanya ada 4 komunitas-perkumpulan yang telah menerima dana bantuan tersebut, antara lain:

1). Mambesakologi dengan tema Risetnya adalah “Wor” dan tradisi kebudayaan orang Biak.

2). Joikatra dengan thema Risetnya Enoastronomi dalam kebudayaan orang Biak. Perkumpulan ini berdomisili di Timika.

3). Kelompok Gaharu, dengan thema Risetnya terkait “Perahu Wairon”, mereka berdomisili di Jayapura.

4). Perkumpulan “Group Sanggar Oyandi”, dengan thema Risetnya Musik Akoustik dan lagu-lagu tradisional Biak.

“Ini baru pertama di Papua untuk juga ikut berkompetisi dalam program dana Indonesiana, dan puji Tuhan Papua bisa lolos tahun lalu dari anak-anak amber yang juga ikut menjuarai kompetisi tersebut.

Yaitu kelompok Mambesakologi terkait pembuatan film, sehingga ini yang menjadi motifasi kita dan bekerja sama dengan Uncen melalui Museumnya, untuk lebih mendorong kembali agar program tersebut dapat berlanjut”, terangnya.

Lanjut Kondologit bahwa Papua merupakan pusat kebudayaan termasuk di teluk Cenderawasih, atau bagian Utara Papua adalah Kebudayaan Orang Biak, oleh karena itu sudah dari dulu banyak sekali kajian-kajian yang meneliti kebudayaan dan dan sosial budaya orang Biak.

Dan jelasnya kepada wartawan, ini bukan merupakan hal yang baru, lalu mengapa Biak yang harus di pilih untuk kegiatan ini?.

“Karena berdasarkan hasil data referensi di Tanah Papua, penutur bahasa terbesar di Papua ada 2 kelompok suku, yaitu Suku Biak sebagai penutur bahasa terbanyak, dan yang berikut adalah dari suku Lani di Pegunungan Tengah Papua, yang mencakup 9 kabupaten.

Sedangkan suku Biak atau Orang Biak penyebarannya di mana-mana, seperti di Kepala Burung, Raja Ampat, Manokwari dan Papua bagian utara, seperti, Yapen, Mamberamo Raya, Sarmi, Demta, hingga Abe Pantai. dan ini sangat luar biasa sekali”, puji Riko bersemangat.

Ketika dilihat dalam konteks kebudayaan yang begitu komplit di kedua suku ini, maka suatu ketika apabila mengalami degradasi atau perubahan dan pergeseran, maka itu sudah menjadi barometer untuk mengetahui suku-suku lain yang lebih kecil.

Maka dengan kajian-kajian tersebut, Biaklah yang dipilih, sedangkan les spesialis memilih Biak, soalnya tradisi dan terutama masyarakat pesisir maupun kepulauan, minimal ada sistem pengetahuan tentang astronomi, tapi ada juga tentang pelayaran dan budaya Maritim.

Maka salah satu aspek dari maritim itu adalah ilmu astronomi, dan bicara tentang nyanyian, tarian, dan bisa disebut Wor, dan itu pasti oleh orang Biak.

“Sebagai contoh, di Yapen atau Waropen kalau ada acara Monara atau Monabai, biasanya mereka bilang itu Wor.

Nah inikan sudah bicara soal Bahasa Biak, sehingga benar-benar kata Wor ini sudah menjadi bahasa Baku bagi semua suku”, paparnya lagi.

Jangka waktu kerja dari tim ini bisa saja 6 hari sampai dengan 1 bulan, dan itu merupakan proses panjang di Biak, sedangkan output dari kegiatan ini ada 2, yaitu film dokumenter dan buku, sehingga riset lapangan mulai dari OFGD, Wawancara, sampai dengan pembuatan film itu bisa sebulan.

Oleh sebab itu sehingga saat kita tiba di sini bulan ini, yaitu tanggal 13 Maret maka rencananya semua bisa rampung tanggal 13 April, sehingga para cru, produser, dan tim dapat kembali ke daerahnya masing-masing secepatnya.

“Diharapkan kepada Manfun, Mananwir atau Vaker, dapat merekomendasikan para peran utama untuk dapat diwawancarai serta didokumentasikan, juga untuk pembuatan film dan penulisan buku. Adapun judulnya adalah pengetahuan Maestro, yang artinya person atau orang.

Sedangkan harapan dari bapak Longgi Yawan Bedes perwakilan dari Mananwir menyampaikan, bahwa masyarakat Biak agar dapat mendukung kegiatan ini.

Kenapa demikian, karena kegiatan ini sangatlah penting untuk budaya, bahasa dan kharakter kami sebagai orang Biak.

Karena adat istiadat orang Biak dari tahun 1976 sampai tahun 79 masih berjalan baik, namun dari tahun 78 hingga sekarang nilai budaya Biak sudah tidak menonjol lagi.

Maka dengan program ini saya berpesan agar supaya lebih di tingkatkan lagi”, ujarnya menutup penjelasannya. (✍️📢: Herikson W. Kbarek, SE).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *